Kaidah Ke-56 : Pahala Tergantung Pada Besarnya Manfaat Bukan Kadar Kesulitan
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Enam
عَلَى قَدْرِ الْمَنْفَعَةِ لاَ الْمَشَقَّةِ
Pahala tergantung pada besarnya manfaat bukan kadar kesulitan
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini berkaitan dengan salah satu perinsip taklîf dalam syari’at, yaitu meniadakan kesulitan dan kesempitan. Dalam kaidah dijelaskan bahwa seorang hamba ketika beramal tidak boleh sekedar bertujuan untuk menempuh kesulitan dalam amalan tersebut, akan tetapi yang menjadi tujuan hendaknya adalah mengerjakan amalan yang lebih bermanfaat baginya.
Imam As-Syathibi rahimahullah mengatakan, “Apabila maksud seorang mukallaf sekedar mengerjakan kesulitan, maka sesungguhnya ia telah menyelisihi maksud syari’at, karena syariat dalam memberikan taklif tidaklah bertujuan memberikan kesulitan. Dan setiap tujuan yang menyelisihi tujuan syariat maka itu adalah perkara yang bathil.”[1]
Di antara hal yang perlu difahami bahwa keridhaan Allâh Azza wa Jalla dan kecintaa-Nya bukanlah karena siksaan dan kesulitan yang ditimpakan seseorang kepada dirinya sendiri, sehingga semakin sulit suatu amalan maka semakin utama, sebagaimana dikatakan oleh sebagian kalangan.[2] Namun, keridhaan Allâh Azza wa Jalla dan kecintaan-Nya tergantung pada kadar ketaatan terhadap perintah dan keikhlasan seseorang dalam beramal. Oleh karena itu, besarnya pahala itu tergantung pada tingkat manfaat, maslahat, dan faidah. Apabila syariat memerintahkan kita mengerjakan perkara yang berat maka hal itu karena ada manfaat dan maslahat yang besar di dalamnya, seperti jihad. Bersamaan dengan itu, Allâh Azza wa Jalla memberikan pahala atas kesulitan yang muncul darinya. Sebagaimana firman-Nya.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan ditulislah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. [at Taubah/9:120].
Maka apabila seorang insan ditimpa kesulitan ketika melaksanakan jihad, haji, amar ma’ruf nahi munkar, atau menuntut ilmu, maka itu termasuk perkara yang dipuji dan diberi pahala.
Adapun sekedar memberikan kesusahan kepada diri sendiri, atau sekedar menempuh kesulitan sebagaimana anggapan sebagian manusia bahwa itu termasuk mujahadah, apabila tidak terdapat unsur manfaat dan ketaatan kepada Allâh maka tidak ada kebaikan di dalamnya. Dalam hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
إِنَّ هَذَا الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulit agama, kecuali dirinya akan terkalahkan.”[3]
Berdasarkan kaidah ini dapat kita ketahui bahwa tidak setiap amalan yang berat itu memiliki keutamaan yang lebih besar daripada amalan yang ringan. Akan tetapi keutamaan suatu amalan tergantung pada tingkat ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan kadar manfaat bagi pelakunya. Adakalanya amalan yang lebih utama itu berupa amalan yang ringan dan adakalnya berupa amalan yang berat.[4]
DALIL YANG MENDASARINYA
Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan eksistensi dan kandungan kaidah ini. Di antaranya adalah hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ahuma riwayat al-Bukhâri :
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوْا : أَبُوْ إِسْرَائِيْلَ نَذَرَ أَنْ يَقُوْمَ وَلاَ يَقْعُدَ وَلاَ يَسْتَظِلَّ وَلاَ يَتَكَلَّمَ وَيَصُوْمَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbâs, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah tiba-tiba ada laki-laki yang berdiri. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang orang itu, maka orang-orang menjawab, “Dia adalah Abu Isrâ’il, ia telah bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan hendaklah ia meneruskan puasanya.”[5]
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang tersebut melakukan perkara yang tidak bermanfaat, dan memerintahkannya meneruskan yang bermanfaat yaitu puasa, karena pahala itu tergantung pada kadar manfaat bukan kadar kesulitan.
Demikian pula hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang diriwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَيْخًا يُهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ فَقَالَ : مَا بَالُ هَذَا ؟ فَقَالُوْا : نَذَرَ أَنْ يَمْسِيَ. فَقَالَ : إِنَّ اللهَ عَنْ تَعْذِيْبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ. وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْكَبَ.
Dari Anas bin Mâlik, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang tua yang dipapah oleh kedua anaknya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Ada apa gerangan dengan orang ini?” Orang-orang menjawab, “Ia telah bernadzar untuk berjalan.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak butuh atas penyiksaan orang ini kepada dirinya sendiri.” Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk naik kendaraan.[6]
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keinginan orang tua itu untuk memasukkan dirinya ke dalam kesulitan. Dan beliau mengisyaratkan bahwa pahala itu tidak tergantung pada kadar sulitnya amalan dengan menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan siksaan atau kesulitan yang ditimpakan seseorang kepada dirinya sendiri.
Dan hadits Ummul Mu’minin Juwairiyyah Radhiyallahu anhuma riwayat Imam Muslim[7] :
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ جُوَيْرِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا بُكْرَةً حِيْنَ صَلَّى الصُّبْحَ وَهِيَ فِي مَسْجِدِهَا ثُمَّ رَجَعَ بَعْدَ أَنْ أَضْحَى وَهِيَ جَالِسَةٌ. فَقَالَ : مَا زِلْتِ عَلَى الْحَالِ الَّتِي فَارَقْتُكِ عَلَيْهَا ؟ قَالَتْ : نَعَمْ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ لَوْ وُزِنَتْ بِمَا قُلْتِ مُنْذُ الْيَوْمِ لَوَزَنَتْهُنَّ : سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ.
Dari Ummul Mu’minin Juwairiyyah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar di pagi hari dari rumahnya ketika shalat Shubuh, sementara Juwairiyyah Radhiyallahu anhum berada di tempat shalatnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali setelah waktu dhuha, dan Juwairiyah masih duduk di tempat semula. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Engkau masih tetap di tempat semula seperti ketika aku meninggalkanmu tadi?” Ia menjawab, “ Ya.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku telah mengucapkan setelahmu empat kalimat sebanyak tiga kali. Seandainya empat kalimat itu ditimbang dengan apa yang engkau ucapkan sepanjang hari tadi tentulah menandinginya (yaitu) :
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Seandainya kadar pahala itu tergantung pada kadar sulitnya amalan, tentulah duduknya Ummul Mu’minin di masjid dan dzikir yang diucapkannya lebih utama daripada dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semisal dengan hadits-hadits di atas banyak, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya dari riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ : سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dicintai oleh ar-Rahman, yaitu : Subhânallâhil ‘Azhîm Subhânallâhil wabihamdihi[8]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً. فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
Iman itu terdiri atas tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan Laa ilaha illAllâh dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu termasuk bagian dari iman.[9]
Seandainya besarnya pahala itu semata-mata tergantung pada besarnya kesulitan, tentulah menyingkirkan gangguan dari jalan itu lebih besar pahalanya daripada keimanan.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh kasus yang masuk dalam implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
- Perbuatan seseorang membiarkan dirinya dalam cuaca panas atau cuaca dingin tanpa mengenakan baju, atau semisalnya, yang dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk mujâhadah, maka dalam hal ini pelakunya tercela dan tidak terpuji, jika di dalamnya tidak terkandung manfaat syar’iyah.[10]
- Seseorang yang sedang dalam keadaan safar maka berbuka lebih utama daripada berpuasa, karena pahala tergantung pada kadar manfaat bukan kadar kesulitan, sedangkan pada keadaan tersebut berbuka lebih bermanfaat baginya daripada berpuasa.[11]
- Mengqashar shalat bagi musafir lebih utama daripada menyempurnakannya, dan itu adalah lebih ringan baginya.[12]
- Haji tamattu’ adalah cara manasik yang paling afdhal bagi orang yang tidak membawa binatang sembelihan,[13] karena itu adalah perkara terakhir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan itu lebih ringan.[14]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] al-Muwâfaqât, 2/129.
[2] Sebagian Ulama’ menyebutkan kaidah : “Semakin banyak yang dikerjakan maka semakin banyak keutamaannya.” Kaidah ini disebutkan di antaranya oleh al-Qarafi dan as-Suyuthi. Lihat al-Furûq karya al-Qarafi 2/131-133. al-Asybah wa an-Nazhâir karya as-Suyuthi hal. 144. Kaidah yang sedang dibahas ini dan dalil-dalilnya merupakan bantahan atas kaidah tersebut. Sebagaimana sebagian Ulama telah menyebutkan bantahan terhadap kaidah tersebut, di antaranya as-Syathibi dalam al-Muwafaqât 2/130-133, al-‘Izz bin Abdissalam dalam Qawâ’id al-Ahkâm 1/38, dan al-Muqriy dalam al-Qawâ’id 2/411.
[3] HR. al-Bukhâri, no. 39
[4] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 22/313
[5] HR. al-Bukhâri, no. 6704.
[6] HR. al-Bukhâri, no. 6701 dan Muslim, no. 1642.
[7] HR. Muslim, no. 2726.
[8] HR. al-Bukhâri, no. 6406 dan Muslim, no. 2694.
[9] HR. Muslim, no. 35.
[10] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 23/315.
[11] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 26/37.
[12] Idem.
[13] Idem.
[14] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Miman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, hlm. 234-239.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4389-kaidah-ke-66-pahala-tergantung-pada-besarnya-manfaat-bukan-kadar-kesulitan.html